Hanafi adalah pemuda pribumi asal Minangkabau. Sesungguhnya, ia termasuk
orang yang sangat beruntung dapat bersekolah di Betawi sampai tamat
HBS. Ibunya yang sudah janda, memang berusaha agar anaknya tidak
segan-segan menitipkan Hanafi pada keluarga Belanda walaupun utnuk
pembiayaannya ia harus meminta bantuan mamaknya, Sutan Batuah. Setamat
HBS, Hanafi kembali ke Solok dan bekerja sebagai klerek di kantor
Asisten Residen Solok. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi komis
(lihat halaman 27).
Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda, memungkikan Hanafi
berhubungan erat dengan Corrie De Busse, gadis Indo-Perancis. Hanafi
kini merasa telah bebas dari kungkungan tradisi dan adat negerinya.
Sikap, pemikiran dan cara hidupnya juga sudah kebarat-baratan. Tidaklah
heran jika hubungannya dengan Corrie ditafsirkan lain oleh Hanafi karena
ia kini sudah bukan lagi sebagai orang “inlander” (bangsa pribumi yang
di jajah oleh Belanda). Oleh karena itu, ketika Corrie datang ke Solok
dalam rangka mengisi liburan sekolahnya, bukan main senangnya hati
Hanafi. Ia dapat berjumpa kembali dengan sahabat dekatnya.
Hanafi mulai merasakan tumbuhnya perasaan asmara. Sikap Corrie
terhadapnya juga dianggap sebagai gayung bersambut kata terjawab. Maka,
betapa terkejutnya Hanafi ketika ia membaca surat dari Corrie. Corrir
mengingatkan bahwa perkawinan campuran bukan hanya tidak lazim untuk
ukuran waktu itu, tetapi juga akan mendatangkan berbagai masalah. “Timur
tinggal timur, Barat tinggal Barat, tak akan dapat ditumbuni jurang
yang membatasi kedua bahagian itu” (lihat halaman 59). Perasaan Corrie
sendiri sebenarnya mengatakan lain. Namun, mengingat dirinya yang
Indo—dan dengan sendirinya prilaki dan sikap hidupnya juga berpijak pada
kebudayaan barat—serta Hanafi yang pribumi, yang tidak akan begitu saja
dapat melepaskan akar budaya leluhurnya.
Dalam surat Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan
pertallian hubnungannya itu. Surat itu membuat Hafani patah semangat. Ia
pun kemudian sakit. Ibunya berusaha menghibur agar anak satu-satunya
itu, sehat kembali. Di saat itu pula ibunya menyarankan agar Hanafi
bersedia menikah dengan Rapiah, anak mamaknya. Sutan Batuah. Ibunya
menerangkan bahwa segala biaya selama ia bersekolah di Betawi tidak lain
karena berkat uluran tangan mamaknya, Sutan Batuah. Hanafi dapat
mengerti dan ia menerima Rapiah sebagai istrinya.
Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Rapiah, rupanya tak berjalan mulus.
Hanafi tidak merasa bahagia, meskipun dari hasil perkawinannya dengan
Rapiah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Syafei.
Hanafi beranggapan bahwa penyebabnya adalah Rapiah. Rapiah kemudian
menjadi tempat segala kemarahan Hanafi. Meskipun Rapiah diperlakukan
begitu oleh Hanafi, Rapiah tetap bersabar.
Suatu ketika, setelah mendamprat Rapiah, ia duduk termenung seorang diri
di kebun. Ibunya menghampiri anaknya dan berusaha menyadarkan kembali
kelakukan anaknya yang sudah lewat batas itu. Namun, Hanafi justru
menanggapinya dengan cara cemooh. Di saat yang sama, tiba-tiba seekor
anjing gila menggigit tangan Hanafi.
Dokter segera memeriksa gititan anjing gila pada tangan Hanafi. Dokter
menyarankan agar Hanafi berobat ke Betawi. Anjuran dokter itu sangat
menyenangkan hatinya. Sebab, bagaimanapun, kepergiannya ke Betawi itu
sekaligus memberi kesempatan kepada untuk bertemu dengan Corrie.
Suatu peristiwa yang sangat kebetulan terjadi. Dalam suatu kecelakaan
yang dialami Corrie, Hanfi yang sedang berada di Betawi, justru menjadi
penolong Corrie. Pertemuan itu sangat menggembirakan keduanya. Corrie
yang sudah ditinggal ayahnya, mulai menyadari bahwa sebenarnya bahwa ia
memerlukan sahabat. Pertemuan itu telah membuat Hanafi mengambil suatu
keputusan. Ia bermaksud tetap tinggal di Betawi, Untuk itu, ia telah
pula mengurus kepindahan pekerjaannya. Setelah itu, ia mengurus surat
persamaan hak sebagai bangsa Eropa. Dengan demikian, terbukalah jalan
untuk segera menceraikan Rapiah, sekaligus meluruskan jalan baginya
untuk mengawini Corrie.
Semua rencana Hanafi berjalan lancar. Namun, kini justru Corrie yang
menghadapi berbagai persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan Hanafi
mendapat antipati dari teman-teman sebangsanya. Akhirnya, dengan cara
diam-diam mereka melangsungkan pernikahan.
Sementara itu, Rapiah yang resmi dicerai lewat surat yang dikirim
Hanafi, tetap tinggal di Solok bersama anaknya, Syafei, dan ibu Hanafi.
Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang
mereka bayangkan. Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu,
mulai menjauhi. Di satu pihak menggapnya Hanafi besar kepala dan angkuh,
tidak menghargai bangsanya sendiri. Di lain pikah, ia menganggap Corrie
telah menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan Barat. Jadi,
keduanya tidak lagi mempunyai status yang jelas, tidak ke Barat tidak
juga ke Timur. Inilah awal malapetaka dalam kehidupan rumah tangga
mereka.
Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai bara api nera dunia.
Corrie yang semua supel dan lincah, kini menjadi nyonya pendiam.
Kemudian Hanafi, kembali menjadi suami yang kasar dan bengis, bahkan
Hanafi selalu diluputi perasaan curiga dan selalu berprasangka buruk,
lebih-lebih lagi Corrie sering dikunjungi Tante Lien, soerang mucikari.
Puncak bara api itu pun terjadi. Tanda diselidiki terlebih dahulu,
Hanafi telah menuduh istrinya berbuat serong, tentu sajaa, Corrie tidak
mau dituduh dan diperlakukan sekehendak hati suaminya. Maka, dengan
ketepatan hati, Corrie minta diceraikan. “Sekarang kita bercerai, buat
seumur hidup…. Bagiku tidak menjadi kepentingan, karena aku tidak sudi
menjadi istri lagi dan habis perkara” (lihat halaman 183). Setelah itu,
Corrie meninggalkan Betawi dan berangkat ke Semarang. Ia bekerja di
sebuah panti asuhan.
Segala kejadian itu membuat Hanafi menyadari bahwa sebenarnya istrinya
tidak bersalah. Ia menyesal dan mencora menyusul Corrie. Namun, sia-sia.
Corrie tetap pada pendiriannya. Perasaan berdosa makin menambah beban
penderitaan Hanafi, ditambah lagi, teman-temannya makin menjauhi. Hanfi
dipandang sebagai seorang suami yang kejam dan tidak bertanggung jawab.
Dalam keadaan demikian, barulah ia menyesal sejadi-jadinya. Ia juga
ingat kepada ibu, istri, dan anaknya di Solok.
Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit. Pada saat
itu datang seorang temannya yang mengatakan tentang pandangan orang
terhadapnya. Ia sadar dan menyesal. Ia kembali bermaksud minta maaf
kepada Corrie dan mengajaknya rujuk kembali. Ia pergi ke Semarang, namun
rupanya, pertemuamnnya dengan Corrie di Semarangan merupakan pertemuan
terkahir. Corrie terserang penyakit kolera yang kronis. Sebelum
mengehembuskan nafasnya yang terakhir, Corrie bersedia memaafkan
kesalahan Hanafi. Perasaan menyesal dan berdosa tetap membuat Hanafi
sangat menderita. Batinnya goncang, ia pun jatuh sakit.
Setelah sembuh Hanafi bermaksud pulang ke kampungnya. Ia ingin minta
maaf kepada ibunya dan Rapiah, istrinya. Di samping itu ia juga ingin
melihat keadaan anaknya sekarang. Ia berharap agar anaknua kelak tidak
mengikuti jejak ayahnya yang sesat. Dengan kebulatan hatinya,
berangkatlah Hanafi kembali tanah kelahirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar